Selasa, Desember 11, 2007

33 Kiat Menggapai Ketenangan Jiwa

Situasi kesehatan jiwa saat ini, sebagaimana dinyatakan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), merupakan krisis yang tidak terungkap yang akan semakin buruk di masa-masa yang akan datang.

Di zaman maju ini betapa banyak orang menderita ketegangan, kecemasan, panik, depresi, tidak puas, disharmoni, gelisah, kecewa, curiga berlebihan, dan lainnya sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang mengganggu jiwa atau batinnya. Dengan kenyataan ini, ketenangan jiwa semakin mahal harganya dan akan semakin didamba banyak orang.

Dulu, ada pepatah: “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat (men sana in corpore sano),” kini justru dipercaya kebalikannya, bahwa “Dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang sehat,” karena ternyata banyak orang yang tubuhnya segar bugar tapi jiwanya sakit, sementara ada orang yang meski tubuhnya sakit tapi jiwanya tetap sehat.

Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. merupakan modal utama mencapai dan menjaga kesehatan jiwa. Penelitian menunjukkan masyarakat yang religius lebih kecil resiko terkena gangguan kejiwaan dibanding mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya.

Berikut ini adalah kiat-kiat untuk menggapai ketenangan jiwa sebagaimana diajarkan atau disemangati oleh agama kita, Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Dalil-dalilnya terpaksa tidak kami tulis demi kepraktisan.

Secara Umum

1. Tidak memaksakan diri di luar batas kemampuan. Tidak ada “takalluf” (pemaksaan diri) dalam agama Islam. Islam justeru menyeru bermadya (al-qosda); berlaku sedang, tengah, dan wajar.

2. Menghindari dosa. Pelanggaran terhadap aturan agama atau dosa memberikan pengaruh yang tidak baik pada jiwa. Dosa menjadikan kita tidak tenang, takut, dan was-was. Kita takut dosa itu diketahui orang lain.

3. Dzikir, mengingat Allah swt. Ia menumbuhkan keyakinan diri, mendekatkan komunikasi diri kepada Allah swt., dan menjadikan hati tidak kering. Dzikir bisa berupa sholat, (paling tidak sholat lima waktu, apalagi bila ditambah tahajjud), membaca al-Qur’an, membaca doa-doa, dan sebagainya.

4. Melihat, membaca, menyimak, dan memperhatikan perilaku atau sejarah keteladanan orang-orang shaleh. Pepatah mengatakan, “Saat orang-orang shaleh dituturkan, turunlah rahmat-rahmat.”

5. Ringan tangan, suka menolong, dan dermawan (sakho’). Tidak melihat diri. Tidak melihat apa yang telah dia keluarkan bagi orang lain. Bermanfaat bagi orang banyak.

6. Lapang dada (salamatus shadri). Hatinya dijauhkan dari dengki, iri hati, dendam, takabur, prasangka buruk, dan semacamnya.

7. Menasehati khalayak (an-nushu lil ummah) atau berdakwah atau ta’lim. Alangkah bahagia melihat ilmu yang kita berikan diterima dan diamalkan orang lain. Orang-orang awam menjadi lepas dari kebodohannya. Dikatakan, “Amal yang menyebar manfaatnya kepada khalayak lebih utama daripada amal yang manfaatnya terbatas pada diri sendiri.”

8. Berlaku santun (al-hilmu) dan tidak tergesa-gesa (al-anah). Terburu-buru dan reaktif terhadap situasi yang mengelilinginya merupakan tanda ketidaktenangan jiwa. Dengan berfikir jernih, terencana, dan tidak gegabah, jiwa menjadi tenang.

9. Puasa dalam arti khusus maupun puasa dalam arti umum yaitu menahan diri (imsak). Puasa bisa menstabilkan jiwa. Para ulama banyak memaknai sabar dalam al-Qur’an sebagai puasa.

Terkait dengan Keilmuan

10. Menambah ilmu. Wawasan menjadi luas, tidak berpikiran sempit. Kapan dan dimana pun kita adalah tholib (pencari ilmu). Tidak merasa puas diri ibarat merasa besar di dalam akuarium kecil. Di atas orang yang alim ada yang lebih alim lagi. Betapa tinggi ilmu Nabi Musa as., namun Allah swt. memerintahkannya tetap memburu ilmu dari Nabi Khidlir as.

11. Memahkotai ilmu yang dimiliki dengan akhlak terpuji, meliputi makrifat (kesadaran), tawadhu’ (kerendahan hati), amal, dan taqwa. Ilmu tidak akan bermanfaat dengan sendirinya. Orang yang berilmu harus sadar diri. Ikhlas. Berilmu tapi sombong dibenci masyarakat. Ilmu tanpa amal, jiwa terasa dikejar-kejar. Dan seandainya ilmu menjadi baik tanpa taqwa, maka manusia termulia di bumi adalah Iblis.

Terkait dengan Kekayaan/Materi

12. Melihat kepada orang/tingkatan yang berada di bawahnya.

13. Menyadari kekayaan yang hakiki dan atau tempat kembali yang hakiki, bahwa harta yang kita makan akan menjadi kotoran dan yang kita pakai akan menjadi rusak, dan begitu kita mati, itu semua menjadi milik ahli waris, sementara yang kekal adalah sedikit harta yang telah kita sedekahkan untuk perjuangan/dhuafa’.

14. Ridho dan puas terhadap pembagian yang diterimanya. Apa yang ada dinikmati.

Terkait dengan Ujian

15. Sabar dan tegar menerima ujian, karena semua telah diatur oleh Allah swt.

16. Ihtisab, yakni mengharap pahala dari Allah swt. atas musibah yang menimpanya.

17. Meyakini di balik ujian ada pelajaran (hikmah) dan setelah kesusahan pasti ada kegembiraan.

Terkait dengan Kehidupan Berumah Tangga

18. Suami tasamuh (toleran) terhadap isteri.

19. Suami taghoful (melupakan perangai isteri yang tidak disukai) karena di balik satu hal yang tidak dia sukai masih begitu banyak hal yang dia sukai dari isterinya.

20. Suami memenuhi hak-hak isteri.

21. Suami tabah, sabar, dan tahan atas gangguan dari isterinya.

22. Suami mendidik dan membimbing isteri dengan baik dan lembut, sebab bila pendidikan dilakukan dengan keras niscaya terjadi cerai, sedang bila tidak dididik atau dibiarkan sama sekali, isteri akan tetap pada kebengkokannya.

23. Isteri patuh pada suami.

24. Istreri diam begitu suami bicara.

25. Isteri tekun beribadah.

26. Isteri menjaga kehormatan dirinya, memelihara kehormatan suami dan hartanya, serta menjaga anak-anaknya.

Terkait dengan Kehidupan Berjamaah

27. Hidup berjamaah dengan suatu misi kebenaran yang mengikatnya. Indah. Penelitian menyatakan hidup mengisolir diri atau individual adalah sumber berbagai penyakit kejiwaan. Di setiap jamaah manapun pasti ada konflik. Tapi bila kita pandai mensikapinya, itu akan membuat kita dewasa dan matang. “Seburuk-buruk kehidupan berjamaah lebih baik daripada hidup sendirian.”

28. Taat pada murabbi sekaligus pada sistem yang dibina olehnya. Kita bergaul dengan orang-orang yang jujur. Kita mempunyai pembimbing. Ada yang mengingatkan begitu kita teledor dan menyimpang. Perhatikanlah orang yang tidak patuh pada komandan/komando, jauh dari murobbi, jiwanya bisa goncang.

29. Silaturrahim. Memperbanyak teman, melenyapkan permusuhan.

30. Menghilangkan ghill dan mengedepankan husnuddzon kepada sesama jamaah. Kedengkian dan prasangka buruk adalah belenggu dalam jiwa.

Terkait Dalam Sikap

31. Tafakkur dan tadabbur alam dalam rangka menyegarkan jiwa yang lelah (refreshing).

32. Istiqomah, dalam arti ulet, tekun, konsisten, teguh memegang prinsip, dan bersungguh-sungguh. Tangguh.

33. Optimis. Percaya diri. Tidak berputus asa. Pantang menyerah. Ibarat dian yang tak kunjung padam. Betapapun rintangan menghadang. Tentu, setelah kiat-kiat tersebut di atas dilaksanakan. Sebab, optimisme tanpa kerja keras tak ubahnya mimpi.

(Sumber Imam Mawardi / http:///pustakamawar.wordpress.com)

selengkapnya...
Senin, Desember 10, 2007

Mencari Pendidikan Alternatif

Tidak bisa tidak, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia di era mondial ini. Pendidikan merupakan acuan dasar bagi manusia untuk mencari hakekat pribadinya sehingga mereka bisa mengatasi segala polemik yang ada di lingkungan sekitar. Sebagai kebutuhan primer, jelas bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap manusia.
Pertanyaannya sudahkah pemerintah memenuhi kebutuhan dasar itu? Terutama terkait dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga Negara? Kecenderungan dalam masyarakat, justru falsafah dasar tersebut masih belum menyentuh realitas.
Sebaliknya, lembaga pendidikan, para elite pendidikan lebih mengedepankan money oriented. Pendidikan tak ubahnya seperti pasar. Di pasar adanya barang dagangan (baca: sekolah) di pasar ada tawar menawar antara penjual dan pembeli dan di pasar ada uang. Uanglah yang menentukan sebua transaksi. Siapa yang memiliki uang dialah yang bisa membeli sekolah.


Tak pelak, Masih banyak para orang bawah yang mengeluh sekolah yang mahal, dengan dana-dana yang tau akan dialokasikan kemana. Dan tak jarang anak mereka diperintahkan untuk mencari uang sendiri. Seperti; memulung barang bekas, pengamen dijalanan hingga mengemis di beberapa perumahan mewah. Hal inilah yang kurang disentuh oleh pemerintah.
Padahal telah dikemukan di Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa "setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya". Masih dalam pasal itu juga dinyatakan bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, "mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dan "mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" (ayat 1 huruf c dan d).
Dapat penulis uraikan pernyataan diatas bahwa seharusnya pendidikan itu wajib dikenyam oleh semua warga dan jangan sekali-kali ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga adanya sebuah pembatas antara kaum si kaya dan si miskin. Hal ini yang menyebabkan adanya pemetakan-pemetakan guna memperoleh sebuah pendidikan yang layak bagi semua warga Negara.
Menurut Darmaningtyas pemetakan tersebut adalah mereka yang tinggal di daerah perkotaan, berasal dari keluarga terdidik, dan ditunjang kemampuan ekonomi yang cukup (kita sebut kelompok pertama), tentu memiliki kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anaknya, termasuk berani membayar mahal. Tetapi mereka yang miskin, meski tinggal di kota (kita sebut kelompok kedua), belum tentu memiliki kesadaran sama. Atau mereka memiliki kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anaknya, tetapi tidak memiliki biaya. Masalah yang lebih kompleks adalah mereka yang tinggal di daerah terisolasi dan miskin (kita sebut kelompok ketiga).
Maka disini pemerintah perlu adanya langkah-langkah yang kontruktif. Pemerintah berpikir bagaimana anak yang belum mendapatkan haknya (baca ; pendidikan) merasakan bangku sekolah yang dinilai berharga bagi mereka tanpa harus mengeluarkan biaya yang melimpah.
Perlu sekali adanya pendidikan ‘ Alternatif ’, khususnya bagi mereka yang tidak mampu sehingga tak perlu lagi membayar uang pendidikan (baca; sekolah gratis) di daerah terpencil yang banyak didiami oleh si miskin juga terlebih lagi yang belum mengenal sekolah sama sekali. Tujuannya tak ada lain hanya untuk mencerdaskan anak bangsa. Ini sesuai dengan pasal diatas yang membahas tentang pendidikan yang mana setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya. Juga mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Ada statement yaitu, pendidikan gratis itu pendidikan tidak bermutu dan menjatuhkan mutu pendidikan, sehingga tak salah mereka yang ber-duit (kaya) lebih baik membayar mahal dengan kualitas yang terjamin. Namun, bagi mereka yang tidak ber-duit (miskin) pendidikan gratis jelas amat menarik, karena para anaknya bisa bersekolah tanpa harus bayar.
Jadi, sampai saat ini belum tersentuhnya pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah dalam program pendidikan nasional. Maka, solusinya pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk jaminan pendidikan untuk keluarga miskin. Seperti tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang. Pemerintah harus berkomitmen untuk mempunyai andil dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan pemerintah
(Oleh : Triya Diansyah/diansyah2006@yahoo.com)

selengkapnya...
Kamis, Desember 06, 2007

VOCATIONAL SKILL


Kecakapan vokasional (vocational skill/VS) seringkali disebut pula dengan “kecakapan kejuruan”, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat. Kecakapan vokasional lebih cocok bagi siswa yang akan menekuni pekerjaan yang lebih mengandalkan keterampilan psikomotor dari pada kecakapan berpikir ilmiah. Oleh karena itu, kecakapan vokasional lebih cocok bagi siswa SMK, kursus keterampilan atau program diploma.

Kecakapan vokasional mempunyai dua bagian, yaitu: kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill) yang sudah terkait dengan bidang pekerjaan tertentu. Kecakapan dasar vokasional mencakup antara melakukan gerak dasar, menggunakan alat sederhana diperlukan bagi semua orang yang menekuni pekerjaan manual (misalnya palu, obeng dan tang), dan kecakapan membaca gambar sederhana. Di samping itu, kecakapan vokasional dasar mencakup aspek sikap taat asas, presisi , akurasi dan tepat waktu yang mengarah pada perilaku produktif .

Kecakapan vokasional khusus, hanya diperlukan bagi mereka yang akan menekuni pekerjaan yang sesuai. Misalnya menservis mobil bagi yang menekuni pekerjaan di bidang otomotif, meracik bumbu bagi yang menekuni pekerjaan di bidang tata boga, dan sebagainya. Namun demikian, sebenarnya terdapat satu prinsip dasar dalam kecakapan vokasional, yaitu menghasilkan barang atau menghasilkan jasa.

Kecakapan akademik dan kecakapan vokasional sebenarnya hanyalah penekanan. Bidang pekerjaan yang menekankan keterampilan manual, dalam batas tertentu juga memerlukan kecakapan akademik. Demikian sebaliknya, bidang pekerjaan yang menekankan kecakapan akademik, dalam batas tertentu juga memerlukan kecakapan vokasional. Bahkan antara GLS , AS dan VS terjadi saling terkait dan tumpang tindih. Pada Gambar 3 terlihat tumpang tindih itu. Bagian tumpang tindih antara GLS dengan AS, seringkali disebut kecakapan akademik dasar (basic academic skill) , bagian tumpang tindih antara GLS dan VS sering disebut dengan kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) , dan tumpang tindih antara AS dan VS sering disebut dengan kecakapan vokasional berbasis akademik (science based vocational skill) .

selengkapnya...

Data yang diperlihatkan Balitbang Depdiknas, hingga akhir 2006 lalu masih ada 13 jutaan penduduk Indonesia yang buta aksara. Ironisnya, saat ini Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga Tutor Paket A dan B sekitar 80.000 orang dari jumlah kebutuhan idealnya yang mencapai lebih dari 100.000 orang. Ditambah dengan jumlah honor yang tak mencukupi tingkat kesejahteraan para tutornya, juga jadi pemicu data jumlah tutor yang terus menerus tentatif.

Pemerintah telah menargetkan tahun 2009 angka buta huruf di Indonesia akan diturunkan hingga menjadi 7,7 juta jiwa. Ini bukan kabar baru. Beberapa kabar lain yang cukup lawas adalah persoalan tenaga pendidik nonformal, yang dalam hal ini lebih dikenal dengan sebutan tutor keaksaraan. Kontradiksi antara kewajiban tutor dan sarana penunjang pelaksanaan kegiatannya berupa honor yang jauh dari kata mencukupi, memang jadi masalah klasik di setiap daerah. Dikhawatirkan, hal ini dapat menghambat niatan pemerintah dalam mengurangi angka buta aksara di Indonesia. (Ayu Andini, Baca Lanjut www.jugaguru.com)




selengkapnya...

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah suatu wadah berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya.

Tujuan PKBM, memperluas kesempatan warga masyarakat, khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dalam upaya menyamakan persepsi dan menyelaraskan penyelenggaraan PKBM, dengan ide dasar PKBM sebagai pusat kegiatan pendidikan luar sekolah, PKBM yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kepentingan dan kemampuan masyarakat, maka perlu dikembangkan alat ukur kelayakan penyelenggaraan PKBM.

selengkapnya...

The Quran

This day [the day of the Prophet's 'Farewell Address' on
which the last verse of the Quran was revealed] have I
made perfect for you your religion, and have completed
My favour towards you, and am satisfied with Islam for
you as your religion. -- V:3

Do not dispute with the people of the Book [Jews,
Christians, Sabeans], unless it be in a way that is
better, save with such of them as do wrong; and say: We
believe in that which has been revealed unto us, and
revealed unto you; our God and your God is One, and unto
Him we surrender. -- XXIX:46

Muhammad Asad, The Message of the Quran

. . . the Quran cannot be correctly understood if we read it
merely in the light of later ideological developments, losing
sight of its original purport and the meaning which it had - and
was intended to have - for the people who first heard it from the
lips of the Prophet himself. For instance when his contemporaries
heard the words islam and muslim, they understood them as denoting
man's "self-surrender to God" and "one who surrenders himself to
God," without limiting himself to any specific community or
denomination - e.g., in 3:67, where Abraham is spoken of as having
"surrendered himself unto God" (kana musliman), or in 3:52 where
the disciples of Jesus say, "Bear thou witness that we have
surrendered ourselves unto God (bianna musliman)." In Arabic, this
original meaning has remained unimpaired, and no Arab scholar has
ever become oblivious of the wide connotation of these terms. Not
so, however, the non-Arab of our day, believer and non-believer
alike: to him, islam and muslim usually bear a restricted,
historically circumscribed significance, and apply exclusively to
the followers of the Prophet Muhammad. -- Foreword, p. vi

Seyyed Hossein Nasr, Science & Civilization

In its universal sense, Islam may be said to have three levels of
meaning. All beings in the universe, to begin with, are Muslim,
i.e. "surrendered to the Divine Will." . . . Secondly, all men who
accept with their will the sacred law of the revelation are Muslim
in that they surrender their will to that law. . .

Finally, we have the level of pure knowledge and understanding. It
is that of the contemplative, the gnostic . . . The gnostic is
Muslim in that his whole being is surrendered to God; he has no
separate individual existence of his own. -- p.23 (Http://media.isnet.org/)

selengkapnya...
Selasa, Desember 04, 2007

Zakat Konsep Harta Yang Bersih

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat" itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga. Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya. Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.

Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul. Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya. Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya.

Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti. Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi. Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya. Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya. Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini? Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja. Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah.

Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.

Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata. Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama sekali tak berarti.

Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara. Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah. Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan). Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya. Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya.

Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya. Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. So, what?! Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun --kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya." Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya.

Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan kesejahteraan) bagi semuanya. Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu. Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan, apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

(Oleh Masdar F. Mas'udi ) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174

selengkapnya...
Senin, Desember 03, 2007

Pekerja Anak dan Peran PLS

"..Seharusnya anak laki-lakiku sudah kelas 6 SD, tetapi karena berbagai sebab ia terpaksa hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD. Baca dan tulispun masih belum lancar. Sekarang dia bekerja bersama bapaknya ikut menambang pasir. Tidak jelas berapa pendapatannya sehari karena hasil yang dia peroleh jadi satu dengan pendapatan bapaknya. Tidak ada waktu untuk bermain, bercanda apalagi belajar seperti teman-teman sebayanya, sore hari pulang kerja sudah terlihat capek, malam hari tidur pulas dan pagi harinya harus berangkat bekerja lagi, seperti itulah roda kehidupan anakku tercinta..."

Ilustrasi di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak anak-anak kita yang mengalami nasib kurang beruntung. Berbagai permasalahan yang muncul di lingkup dirinya (individunya) keluarga, masyarakat dan bahkan negara telah membuat seorang anak yang seharusnya bisa memperoleh hak-haknya dengan baik terpaksa harus menerima segala kenyataan yang kurang menguntungkan untuk bisa tumbuh kembang secara wajar.

Peringatan Hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli nampaknya masih belum banyak menyentuh sisi lain dari kesuraman masa depan yang mengungkung sebagian anak di Indonesia. Masalah pekerja anak misalnya, yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga menjadi permasalahan serupa yang umum terjadi di negara-negara berkembang. Batasan yang jelas tentang anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA) adalah manusia laki-laki dan perempuan yang berusia dibawah 18 tahun, baik itu sudah menikah maupun belum menikah. Batasan ini yang harusnya menjadi dasar ketika semua stakeholder berbicara tentang permasalahan anak. Seperti yang terjadi di Indonesia, banyak sekali produk kebijakan yang juga memberikan batasan usia anak yang relatif berbeda-beda. Dasar yang kedua adalah bahwa anak dalam KHA mempunyai 4 hak dasar (dikelompokkan dari sekian banyak hak) antara lain : hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Yang seharusnya negara, masyarakat dan keluarga mempunyai tanggungjawab untuk memenuhinya. Membandingkan sisi normatif dan realitas dilapangan, akan bisa diperoleh satu gambaran dari analisa, mengapa di Indonesia yang sangat kaya dengan sumberdaya alam ini masih banyak sekali terjadi berbagai bentuk pelanggaran hak anak (merujuk pada KHA) di mana salah satunya adalah bentuk pelanggaran memperkerjakan anak. Di mana ketika seorang anak dipekerjakan maka secara otomatis hak untuk tumbuh kembangnya akan terganggu bahkan bisa jadi tidak didapatkan.
"Mempekerjakan anak" atau anak yang dipaksa untuk bekerja apapun alasan dan jenis pekerjaan yang diberikan sebenarnya adalah bentuk pelanggaran hak anak. Ketika kondisi itu disosialisasikan kepada masyarakat, akhirnya memunculkan pro dan kontra. (admin/copy bpplsp reg IV)

selengkapnya...
Sabtu, Desember 01, 2007

Pengertian Teknologi

Pada umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan dan menggampangkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah “teknologi”, yang berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia. Tetapi pemahaman seperti itu baru memperlihatkan satu segi saja dari kandungan kata “teknologi”. Teknologi sebenarnya lebih dari sekedar penciptaan barang, benda atau alat dari manusia selaku homo technicus atau homo faber. Teknologi bahkan telah menjadi suatu sistem atau struktur dalam eksistensi manusia di dalam dunia. Ia (teknologi) bukan lagi sekedar sebagai suatu hasil dari daya cipta yang ada dalam kemampuan dan keunggulan manusia, tetapi ia bahkan telah menjadi suatu “dayapencipta” yang berdiri di luar kemampuan manusia, yang pada gilirannya kemudian membentuk dan menciptakan suatu komunitas manusia yang lain.

selengkapnya...

CYBERNEWS. Ya, tentu boleh saja Anda memacu anak agar selau berprestasi. Tapi, jangan sampai prestasi itu adalah obsesi Anda, yang dulunya tidak terpenuhi. Juga, jangan sampai anak terpaksa melakukannya karena hukuman yang acap Anda ancamkan. Karena itu, Anda wajib memahami kiatnya, yang sederhana.

Memacu anak berprestasi wajib hukumnya. Tapi ingat, perlu kiat yang jelas, agar prestasi itu sendiri bukan obsesi Anda, tapi menjadi kebutuhan anak. Caranya? Jangan pernah ancam dia dengan hukuman, karena itu akan tak menyelesaikan masalah. Sebaiknya, ajari dia dengan cinta. Atau, ikuti tips kami berikut ini

Cinta kasih. Ini menjadi kunci awal ketika Anda menuntut anak. Harus ada kasih dan penerimaan penuh. Ini penting, sehingga sebelum tuntutan diberikan, anak perlu mengetahui dan merasakan cinta kasih Anda yang menerimanya secara total. Maksudnya, anak selayaknyalah memiliki keyakinan bahwa ia tetap Anda kasihi, meski ia belum tentu mampu meraih keinginan Anda. Tanpa keraguan anak dapat berkata bahwa cinta kasih Anda terhadapnya tidak tergantung apakah ia mendapat nilai 9 atau 5. Sebelum menerima tuntutan, anak perlu menyadari bahwa Anda telah menerimanya apa adanya atas dasar satu alasan, cinta kasih.

Tuntutan yang didahului kasih dan penerimaan akan dapat memotivasi anak berprestasi. Tuntutan mendorongnya bekerja lebih keras dan ia akan dapat melakukannya dengan tenang karena ia tahu bahwa ia dikasihi. Anak sadar bahwa keberhasilannya mencapai tuntutan itu akan menyenangkan hati orang tua, bukan untuk mendapatkan kasih orang tua.

Arah yang jelas. Arahan Anda harus jelas dan spesifik. Tidak jarang Anda melakukan kesalahan umum. Misalnya, menuntut anak menjadi lebih baik, lebih rajin, lebih pintar, berprestasi lebih tinggi, dan lain sebagainya. Tuntutan dengan target yang terlalu luas justrtu membuat anak hilang arah dalam mengejar sasarannya. Ia perlu mengerti apa yang Anda tuntut. Sehingga ia tahu yang harus dilakukannya.

Anak, sebagaimana dikutip eunika.com akan lebih dapat memahami tuntutan orang tua apabila tuntutan itu dijabarkan sespesifik. Daripada berkata, lebih rajin dan lebih pintar, mungkin lebih baik Anda memintanya menambah jam belajar atau menyelesaikan tugas sekolah, sebelum bermain. Ketimbang menuntutnya berprestasi lebih tinggi, Anda bisa menyebut pelajaran tertentu yang mendapat nilai rendah dan memintanya menghabiskan waktu belajar lebih banyak untuk bidang tersebut. Anda bisa menargetkan supaya pada ulangan berikutnya ia mencoba meraih nilai 7. Tentunya, Anda hindari nada paksa.

Realistis. Anda harus realistis dengan kemampuan anak. Untuk memacu prestasi anak, tuntutan yang diberikan seyogyanya sedikit diatas kemampuan anak. Tuntutan yang dibawah atau pas dengan kemampuan anak tidak akan memacunya karena ia tidak perlu berusaha keras memajukan diri. Sebaliknya, tuntutan yang jauh melampaui kemampuan anak akan mengecilkan semangat. Anak mesti melihat bahwa tuntutan yang diberikan kepadanya masih dalam batas kemampuan. Jika tidak ia justru ngambek. Jadi yang penting ialah memahami kemampuan dan minatnya. Tuntutanyang efektif adalah tuntutan yang realistis; tuntutan yang tidak realistis justru akan menciptakan frustasi pada diri anak.

Jangan ambisius. Anda tak perlu ambisius. Sikap itu justru akan melelahkan Anda dan membebani anak. Ada dua kesalahan yang umum dilakukan oleh orang tua, termasuk Anda. Pertama menuntut anak menjadi seperti dirinya, dan kedua, menuntut anak menjadi pelengkap kekurangannya. Kesalahan pertama acap diperbuat oleh orang tua yang memiliki kemampuan tertentu. Misalnya saja Anda pintar bermain gitar, maka cenderung menuntut anak bisa bermain gitar. Masalahnya adalah, tidak selalu anak mewarisi bakat orang tua dan tidak semua anak mempunyai minat sama dengan orang tuanya. Kalaupun anak menyukai gitar, itupun tidak berarti bahwa ia akan dapat bermain sebaik Anda.

Kesalahan kedua acap terjadi pada orang tua yang merasa diri kurang atau ada cacatnya. Anak akhirnya menjadi penyambung kekurangan agar keinginannya yang belum tercapai bisa diwujudkan oleh anak. Misalnya jika orang tua berangan-angan dan gagal menjadi dokter, ia pun akan memaksa anak menjadi dokter. Masalahnya adalah belum tentu anak berminat. Maka, hindari pemaksaan, ya? (CN02)

--sumber:www.suaramerdeka.com--

selengkapnya...