Senin, Desember 10, 2007

Mencari Pendidikan Alternatif

Tidak bisa tidak, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia di era mondial ini. Pendidikan merupakan acuan dasar bagi manusia untuk mencari hakekat pribadinya sehingga mereka bisa mengatasi segala polemik yang ada di lingkungan sekitar. Sebagai kebutuhan primer, jelas bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap manusia.
Pertanyaannya sudahkah pemerintah memenuhi kebutuhan dasar itu? Terutama terkait dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga Negara? Kecenderungan dalam masyarakat, justru falsafah dasar tersebut masih belum menyentuh realitas.
Sebaliknya, lembaga pendidikan, para elite pendidikan lebih mengedepankan money oriented. Pendidikan tak ubahnya seperti pasar. Di pasar adanya barang dagangan (baca: sekolah) di pasar ada tawar menawar antara penjual dan pembeli dan di pasar ada uang. Uanglah yang menentukan sebua transaksi. Siapa yang memiliki uang dialah yang bisa membeli sekolah.


Tak pelak, Masih banyak para orang bawah yang mengeluh sekolah yang mahal, dengan dana-dana yang tau akan dialokasikan kemana. Dan tak jarang anak mereka diperintahkan untuk mencari uang sendiri. Seperti; memulung barang bekas, pengamen dijalanan hingga mengemis di beberapa perumahan mewah. Hal inilah yang kurang disentuh oleh pemerintah.
Padahal telah dikemukan di Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa "setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya". Masih dalam pasal itu juga dinyatakan bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, "mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" dan "mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya" (ayat 1 huruf c dan d).
Dapat penulis uraikan pernyataan diatas bahwa seharusnya pendidikan itu wajib dikenyam oleh semua warga dan jangan sekali-kali ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga adanya sebuah pembatas antara kaum si kaya dan si miskin. Hal ini yang menyebabkan adanya pemetakan-pemetakan guna memperoleh sebuah pendidikan yang layak bagi semua warga Negara.
Menurut Darmaningtyas pemetakan tersebut adalah mereka yang tinggal di daerah perkotaan, berasal dari keluarga terdidik, dan ditunjang kemampuan ekonomi yang cukup (kita sebut kelompok pertama), tentu memiliki kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anaknya, termasuk berani membayar mahal. Tetapi mereka yang miskin, meski tinggal di kota (kita sebut kelompok kedua), belum tentu memiliki kesadaran sama. Atau mereka memiliki kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anaknya, tetapi tidak memiliki biaya. Masalah yang lebih kompleks adalah mereka yang tinggal di daerah terisolasi dan miskin (kita sebut kelompok ketiga).
Maka disini pemerintah perlu adanya langkah-langkah yang kontruktif. Pemerintah berpikir bagaimana anak yang belum mendapatkan haknya (baca ; pendidikan) merasakan bangku sekolah yang dinilai berharga bagi mereka tanpa harus mengeluarkan biaya yang melimpah.
Perlu sekali adanya pendidikan ‘ Alternatif ’, khususnya bagi mereka yang tidak mampu sehingga tak perlu lagi membayar uang pendidikan (baca; sekolah gratis) di daerah terpencil yang banyak didiami oleh si miskin juga terlebih lagi yang belum mengenal sekolah sama sekali. Tujuannya tak ada lain hanya untuk mencerdaskan anak bangsa. Ini sesuai dengan pasal diatas yang membahas tentang pendidikan yang mana setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya. Juga mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Ada statement yaitu, pendidikan gratis itu pendidikan tidak bermutu dan menjatuhkan mutu pendidikan, sehingga tak salah mereka yang ber-duit (kaya) lebih baik membayar mahal dengan kualitas yang terjamin. Namun, bagi mereka yang tidak ber-duit (miskin) pendidikan gratis jelas amat menarik, karena para anaknya bisa bersekolah tanpa harus bayar.
Jadi, sampai saat ini belum tersentuhnya pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah dalam program pendidikan nasional. Maka, solusinya pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk jaminan pendidikan untuk keluarga miskin. Seperti tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang. Pemerintah harus berkomitmen untuk mempunyai andil dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan pemerintah
(Oleh : Triya Diansyah/diansyah2006@yahoo.com)

Tidak ada komentar: