Senin, Desember 03, 2007

Pekerja Anak dan Peran PLS

"..Seharusnya anak laki-lakiku sudah kelas 6 SD, tetapi karena berbagai sebab ia terpaksa hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD. Baca dan tulispun masih belum lancar. Sekarang dia bekerja bersama bapaknya ikut menambang pasir. Tidak jelas berapa pendapatannya sehari karena hasil yang dia peroleh jadi satu dengan pendapatan bapaknya. Tidak ada waktu untuk bermain, bercanda apalagi belajar seperti teman-teman sebayanya, sore hari pulang kerja sudah terlihat capek, malam hari tidur pulas dan pagi harinya harus berangkat bekerja lagi, seperti itulah roda kehidupan anakku tercinta..."

Ilustrasi di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak anak-anak kita yang mengalami nasib kurang beruntung. Berbagai permasalahan yang muncul di lingkup dirinya (individunya) keluarga, masyarakat dan bahkan negara telah membuat seorang anak yang seharusnya bisa memperoleh hak-haknya dengan baik terpaksa harus menerima segala kenyataan yang kurang menguntungkan untuk bisa tumbuh kembang secara wajar.

Peringatan Hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli nampaknya masih belum banyak menyentuh sisi lain dari kesuraman masa depan yang mengungkung sebagian anak di Indonesia. Masalah pekerja anak misalnya, yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga menjadi permasalahan serupa yang umum terjadi di negara-negara berkembang. Batasan yang jelas tentang anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA) adalah manusia laki-laki dan perempuan yang berusia dibawah 18 tahun, baik itu sudah menikah maupun belum menikah. Batasan ini yang harusnya menjadi dasar ketika semua stakeholder berbicara tentang permasalahan anak. Seperti yang terjadi di Indonesia, banyak sekali produk kebijakan yang juga memberikan batasan usia anak yang relatif berbeda-beda. Dasar yang kedua adalah bahwa anak dalam KHA mempunyai 4 hak dasar (dikelompokkan dari sekian banyak hak) antara lain : hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Yang seharusnya negara, masyarakat dan keluarga mempunyai tanggungjawab untuk memenuhinya. Membandingkan sisi normatif dan realitas dilapangan, akan bisa diperoleh satu gambaran dari analisa, mengapa di Indonesia yang sangat kaya dengan sumberdaya alam ini masih banyak sekali terjadi berbagai bentuk pelanggaran hak anak (merujuk pada KHA) di mana salah satunya adalah bentuk pelanggaran memperkerjakan anak. Di mana ketika seorang anak dipekerjakan maka secara otomatis hak untuk tumbuh kembangnya akan terganggu bahkan bisa jadi tidak didapatkan.
"Mempekerjakan anak" atau anak yang dipaksa untuk bekerja apapun alasan dan jenis pekerjaan yang diberikan sebenarnya adalah bentuk pelanggaran hak anak. Ketika kondisi itu disosialisasikan kepada masyarakat, akhirnya memunculkan pro dan kontra. (admin/copy bpplsp reg IV)

Tidak ada komentar: